Ramadan kali ini sedekah harus lebih baik

 

RAMADAN DAN ETIKA BERBAGI: MELAMPAUI SEDEKAH MENUJU TRANSFORMASI SOSIAL

Dr. Emaridial Ulza., SE.,MA


Gambar dibuat dengan chatgpt


 

Prolog; Lebih dari sekedar Sedekah

عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

Dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.”- Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri (no. 1427) dan Muslim no.1053 (124)

 

 

Apa yang disampaikan Rasulullah tentang “tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah” bagi setiap muslim tentu menjadi pegangan kita dalam mengarungi kehidupan didunia ini. Hati Nurani manusia pada dasarnya selalu ingin berada diatas atau pada posisi memberi. Karena disinilah letak kepuasaan dari seorang manusia  yang digambarkan oleh Maslow  dalam hirarki kebutuhan menjadi hirarki kebutuhan tertinggi yakni aktualisasi diri.

Didalam Islam sudah diatur sedemikian rupa bagaimana cara memberi mulai dari kewajiban dan keharusan yang pada intinya kita harus bermanfaat bagi orang lain. Islam mengatur tentang menyisihkan harta dengan cara  zakat, infak, sedekah dan wakaf. Hal ini adalah bentuk rasa syukur dan ketaatan kepada Allah Swt. Jika kita kaji lebih dalam lagi kegiatan memberi ini tentu memberikan dampak secara pribadi maupun kepada orang yang menerima manfaat. Dalam kajian-kajian peneliti secara umum menyebutkan bahwa ada kebahagian tersendiri jika memiliki kontribusi besar dalam kebaikan yang kita lakukan.

Sebagai contoh saya meyakini setiap dari kita pernah memberikan uang kepada pengemis dijalan terutama di lampu merah. Hal ini karena didorong dari hati yang tulus entah apa yang akan dilakukan oleh pengemis tersebut dengan yang kita berikan. Ada kebahagiaan tersendiri dalam melakukan hal tersebut. Namun, apa yang kita lakukan tidak memberikan dampak yang signifikan. Bandingkan dengan sekelompok mahasiswa mengunakan kekuatan jaringan dan menggalang dana melalui ponsel atau dengan menggunakan kecanggihan teknologi untuk membangun sumur air bersih di desa terpencil. Keduanya adalah bagian dari sedekah namun memiliki dampak yang berbeda. Memberi kepada pengemis hanya berdampak jangka pendek, memberi dengan membangun sumur air bersih memberikan dampak sosial yang berkelanjutan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi terkini.

Hal ini yang menjadikan bahwa sedekah yang kita lakukan harus lebih baik, bukan sekedar memberi namun harus memberikan dampak sosial yang baik. Apalagi diera sosial 5.0 memberikan perubahan dan peluang baru agar etika berbagi tidak lagi sekedar memberi. Lebih dari itu, berbagi seharusnya menciptakan dampak yang berkelanjutan. bukan hanya bantuan sesaat. Sedekah memang memiliki nilai luhur, tetapi dalam dunia yang semakin kompleks, kita perlu berpikir lebih jauh: bagaimana berbagi bisa mengubah hidup seseorang, bukan hanya mengisi kebutuhannya untuk sehari?

Dari Sedekah Konvensional ke Transformasi Sosial

Banyak orang terbiasa dengan konsep memberi secara instan—membagikan uang, makanan, atau pakaian kepada mereka yang membutuhkan. Namun, bentuk berbagi seperti ini sering kali hanya menyentuh permukaan masalah, bukan akarnya. Di sinilah muncul gagasan transformasi sosial, di mana sedekah diarahkan untuk mengatasi penyebab kemiskinan, bukan hanya akibatnya.

Bahkan dalam filantropi modern menggunakan pendekatan impact- driven philanthropy atau semangat filantropi yang fokus kepada hasil. Pendekatan yang dilakukan adalah perubahan berkelanjutan dan sistematik yang tentu selaras dengan agenda dunia untuk pembangunan berkelanjutan. Hal ini diartikan setiap rupiah atau tenaga yang disumbangkan harus memiliki dampak yang terukur dan berkelanjutan. Tidak sekedar menyumbang, namun para relawan atau dermawan saat ini ini tahu bagaimana kontribusi mereka berdampak langsung dalam merubah kehidupan dan mendorong kemajuan sosial. Ada pergeseran mindset  dari “sekedar memberi”, menjadi “terlibat langsung dan menjadi saksi perubahan terjadi”.

Pergeseran mindset ini bukan berarti menganggap sedekah konvensional itu hal yang buruk. Justru etika berbagi tradisional menjadi fondasi yang harus dipertahankan yakni keikhlasan, empati dan kemurahan hati. Fondasi yang ada dibangun dengan wawasan modern, dimana bisa memaksimalkan nilai sedekah yang diberikan. Menariknya, konsep sedekah jariyah dalam Islam sudah sejak lama menganjurkan hal serupa: yaitu amal yang terus mengalir manfaatnya, misalnya ilmu yang bermanfaat atau fasilitas umum yang terus digunakan orang banyak. Hadis Nabi menyebutkan ilmu yang bermanfaat sebagai salah satu amal yang pahalanya tidak terputus bahkan setelah meninggal. Ini sejalan dengan gagasan transformasi sosial: berbagi pengetahuan dan membangun inisiatif berkelanjutan adalah sedekah paling berdampak.

Teknologi sebagai Amplifier Kebaikan: Penggerak Berbagi

Ada sebuah cerita Ramadan di tahun 1925, salah seorang pedagang kurma kaya raya asal Mesir menaruh sekantung uang dibawah sajadah masjid Al-Azhar. Ia bergumam didalam hati “semoga Allah memberkahi mereka yang membutuhkan.”. Seratus tahun kemudian, ditahun 2025, salah seorang anak muda  ahli di bidang IT di Jakarta mengembangkan algoritma yang mendistribusikan bantuan makanan pokok ke 10 ribu keluarga hanya dalam hitungan menit. Keduanya berbagi dengan niat yang sama yakni menebar kebaikan. Namun, diantara kedua cerita tersebut terbentang zaman yang berbeda, teknologi berkembang dan tantangan berbagi yang semakin baik dibandingkan sebelumnya.

Era Society 5.0 menjadikan teknologi sebagai katalis yang mengakselerasi etika berbagi menuju perbaikan atau cara baru. Di Indonesia semangat gotong royong (tolong-menolong) sudah menjadi kekuatan turun temurun. Semangat ini sudah berubah dan bergerak ke dunia digital melalui urun dana (crowdfunding). Hal ini memungkinkan teknologi digital bisa dimanfaatkan untuk melakukan praktik tolong-menolong yang bisa dilakukan oleh ribuan bahkan jutaan orang secara online walaupun tidak saling mengenal satu sama lain namun memiliki tujuan yang sama untuk mendapai satu tujuan sosial. 

Kemajuan zaman bergerak dengan kecanggihan teknologi. Misalnya dengan kecerdasan buatan (AI) untuk kemanusiaan. Di era big data, kecerdasan buatan (AI) bisa menjadi alat ampuh untuk memastikan sedekah tepat sasaran. Lembaga sosial atau amil zakat bisa mengidentifikasi kelompok masyarakat yang paling membutuhkan dengan memetakan wilayah mana yang rawan putus sekolah atau keluarga mana yang berhak menerima bantuan, sehingga penyaluran bantuan dapat lebih akurat. Hal ini seperti yang dilakukan oleh para peneliti di Stanford University mengembangkan metode AI yang mampu memprediksi tingkat kemiskinan suatu daerah dengan menganalisis citra satelit. AI ini mendeteksi melalui pencahayaan malam, kepadatan jalan, lahan pertanian dari foto udara siang hari. Kemudian merekomendasikan daerah mana yang dinyatakan miskin dan harus dibantu.

Lebih jauh inovasi digital seperti blockchain bisa digunakan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparasi dana donasi. Di Indonesia tantangan filantropi secara luas adalah kepercayaan. Banyak masyarakat ragu apakah donasi mereka benar-benar sampai ke penerima. Teknologi blockchain memungkinkan pencatatan transaksi yang transparan, sehingga setiap rupiah yang disumbangkan bisa dilacak dan diaudit secara publik. Ini mendorong lebih banyak orang untuk berani berbagi tanpa rasa khawatir.

Dari sinilah kita melihat bahwa teknologi digital merupakan enabler (pemungkin) bagi etika berbagi yang lebih luas, cepat dan transparan. Teknologi ibarat jembatan yang menghubungkan niat baik dengan aksi nyata yang jauh sebelumnya menjadi sistem dasar atau SOP yang tertulis di agama Islam. Jauh sebelumnya esensi etika dalam islam selalu menempatkan berbagi harus dengan empati, solidaritas, dan niat yang tulus membantu satu sama lain. Kombinasi antara hati yang peduli dan teknologi inilah yang membuat tujuan sedekah sebenarnya tercapai yang transformasi sosial dan berkelanjutan.

Ramadan 2030: Visi Sedekah Transformasi Sosial

Saya membayangkan Ramadan 2030 seorang petani di Jambi menerima notifikasi dari AI tentang bibit padi didanai sedekah kolektif dari jutaan manusia, begitu juga saya membayangkan Ibu tunggal di Surabaya bisa melakukan coding gratis melalui platform sedekah ilmu dan dibiayai oleh wakaf digital.  1.000 pesantren mendapat bantuan dari perusahaan Indonesia melalui jaringan blockchain yang memastikan tepat sasaran.

Inilah esensi transformasi sosial: sedekah bukan lagi tentang "memberi kepada yang tidak punya," tetapi "berinvestasi dalam potensi bersama.

Nabi Ibrahim AS melempar batu ke berhala, Nabi Musa AS membelah laut dengan tongkat. Di era kita, "mukjizat" ada dalam bentuk kode, data, dan biomaterial. Tantangannya adalah memastikan teknologi tidak menjadi berhala baru, tetapi alat untuk mewujudkan pesan abadi Islam: keadilan, belas kasih, dan pembebasan.

Ramadan adalah bulan di mana langit terbuka untuk doa, dan bumi diharapkan menjadi laboratorium untuk perubahan. Sedekah yang baik di era teknologi (AI) bukanlah yang paling banyak, melainkan yang paling cerdas—menggunakan kecerdasan buatan untuk memperkuat kecerdasan hati. Sebab, seperti kata Cendekiawan Muslim al-Ghazali, “Tangan yang memberi lebih baik dari tangan yang menerima, tetapi tangan yang mengubah sistem agar tak ada lagi yang perlu menerima, itulah tangan yang paling mulia.”

 

0 Komentar

Brand creation, trend analysis & style consulting

Memiliki ketertarikan penelitian pada Operations Management, Integrated Marketing Communications, Strategic Management, Philanthropy, Social Entrepreneurship and Neuromarketing