Prabowo-Gibran: Misi Menembus Pasar Afrika yang Terlupakan

Sumber Foto:Prabowo Gibran sinpo.id/tkn

 Dr. Emaridial Ulza, SE.,MA

Asia bersama negara negara di Afrika bukanlah teman baru, hubungan baik Asia dan Afrika sudah berlangung sangat lama. Hubungan ini didasari oleh senasib dan sepenanggungan dalam hal melawan kolonialisme dan imperialisme. Hubungan baik ini diwujudkan dengan dilaksanakan konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika 1955 di Bandung. Soekarno sebagai tuan rumah ketika itu dalam pidatonya yang berapi-api mengulang kata-kata “Bahwa sesungguhnya, saya merasa bangga negeri saya menjadi negeri penerima Tuan-tuan sekalian, kita bersama Imperialisme dan Kolonialisme”.  Pidato ini menunjukan bahwa Indonesia merasa terhormat bagian dari pelopor pertemuan perwakilan 29 negara perwakilan dari Asia maupun Afrika dan meneguhkan prinsip harus memiliki kekuatan dimana solidaritas bersama antara gerakan negara di Asia dan Afrika harus diwujudkan dan menjadi kekuatan dunia baru

Namun kekuatan dunia baru yang sudah disepakati bersama pada KTT Asia -Afrika tidak berlanjut dengan baik terutama untuk Indonesia sendiri.  Kerjasama diplomasi politik, ideologis dan ekonomi yang dicanangkan dalam gerakan kekuatan dunia baru Asia -Afrika tidak disertai dengan kebijakan-kebijakan yang baik di Indonesia. Khususnya dalam diplomasi ekonomi di Afrika dalam memanfaatkan peluang di pasar non-tradisional. Afrika kawasan yang kini sedang tumbuh pesat dengan potensi ekonomi yang besar terabaikan karena Indonesia terlihat  masih fokus kepada peluang pasar di Asia dan Eropa. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengapa kawasan potensi seperti Afrika tidak mendapatkan perhatian yang lebih besar, terutama di tengah gejolak ekonomi global yang memerlukan diversifikasi mitra dagang.

Hal ini harus diperbaiki diplomasi ekonomi antara Indonesia dan Afrika ditengah momen Presiden baru Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming yang akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024. Perhatian publik tertuju bagaimana pemerintahan Prabowo-Gibran mengarahkan kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya diplomasi ekonomi di Afrika yang menjadi bagian dari kekuatan ekonomi baru dengan kekuatan sumber daya alam yang melimpah dengan tantangan konflik berkepanjangan di Afrika dan siapa yang akan ditunjuk sebagai menteri yang membidanginya. Pemerintahan baru Prabowo-Gibran akan diuji dalam menjawab tantangan tersebut, sehingga harapan tentang gebrakan diplomasi ekonomi di Afrika akan berjalan dengan baik.

Afrika: Pasar Non-Tradisional dengan Potensi Besar

Saat ini Benua Afrika menjadi salah satu kawasan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Bahkan negara di Afrika, seperti Nigeria, Kenya, dan Ethopia mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir karena dorongan dari urbanisasi yang cepat, peningkatan populasi muda yang diprediksi akan meningkat menjadi 2,5 miliar orang pada tahun 2050 serta peningkatan daya beli masyarakat yang ada di Afrika. Belum lagi sumber daya alam yang melimpah, khususnya disektor energi, pertanian dan mineral memberikan potensi besar bagi investasi asing. Laporan dari African Development Bank bahkan menyebutkan bahwa rata-rata produk domestik bruto (PDB) riil rata-rata kawasan Afrika bisa mencapai empat persen dua tahun kedepan. Peluang ini dimanfaatkan dengan baik bagi negara-negara besar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat dengan investasi besar-besaran di kawasan Afrika dan ini membuat indonesia masih tertinggal memanfaatkan peluang ini.

Walaupun Indonesia sudah mencoba melaksanakan program seperti Forum Parlemen Indonesia-Afrika (Indonesia Africa Parliamentary Forum/IAPF), Penandatanganan Preferential Trade di Mozambik, Belt and Road Initiative (BRI) dan Bilateral Investment Treaties (BIT) belum menunjukan pengaruh signifikan. Ini terlihat dari data total nilai perdagangan bilateral Indonesia dengan 54 negara Afrika yang dilaporkan oleh Menteri Luar Negeri Retno mencapai sektar USD 17,4 miliar, dengan USD 7,2 miliar ekspor Indonesia dengan USD 10,2 miliar dari impor. Meskipun terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya atau dianggap stabil, angka terebut masih relatif kecial dibandingkan dengan negara-negara besar lainnya yang berinvestasi di Afrika. Misalnya sebagai perbandingan Tiongkok mampu mencapai total nilai perdagangan USD 282 miliar pada tahun 2023, perdagangan yang dilakukan Tiongkok di Afrika disektor energi, mineral, dan infrastruktur. Selain itu Amerika Serikat mencatat angka perdagangan sebesar USD 50 miliar pada tahun 2022. Jika dibandingkan dengan Asia Tenggara Singapura menjadi negara terbesar dalam perdagangan di Afrika mencapai 19 milyar. Hal ini tentu menunjukan bahwa meskipun hubungan perdagangan dengan Afrika berkembang, negara-negara seperti Amerika, Tiongkok atau Singapura di Asia Tenggara masih memimpin dalam perdagangan dengan Afrika.

Indonesia sebenarnya menjadi prioritas dalam mitra di Afrika untuk mencapai tujuan Pembanguan Afrika 2063 untuk mengubah Afrika menjadi kekuatan global di masa depan. Populasi terbesar di dunia yang terus berkembang membuat permintaan terhadap barang konsumsi, teknologi, dan infastruktur meningkat, diversifikasi ekonomi serta potensi Indonesia memiliki potensi besar dalam perdagangan bahan mentah dan produk setengah jadi yang sejalan dengan kebutuhan industrialisasi di Indonesia.

Peluang yang tidak dimanfaatkan secara optimal menunjukan minimnya inisiatif inovasi dalam diplomasi ekonomi Indonesia dimana kecenderungan pendekatan konvensional fokus kepada perjanjian perdagangan dan investasi bilateral tanpa adanya solusi inovatif yang berbasis teknologi atau model bisnis baru. Misalnya Jepang dan Korea Selatan melakukan pendekatan diplomasi modern seperti mendukung start-up lokal, K-Pop dan juga pelatihan teknologi untuk membangun ekosistem digital di Afrika.

Kurangnya Fokus pada Sektor-Sektor Strategis: Teknologi, Energi Hijau, dan Ekonomi Digital

Dalam melakukan inovasi diplomasi ekonomi yang perlu diperhatikan adalah sektor teknologi, energi hijau, dan ekonomi digital yang saat ini menjadi prioritas utama negara maju dalam membangun hubungan perdagangan internasional. Sektor-sektor ini masih kurang diperhatikan dalam diplomasi ekonomi Indonesia, termasuk di Afrika. Saat ini sedang berkembang sektor teknologi informasi sektor yang tumbuh pesat di banyak negara di Afrika. Misalnya Kenya dengan ekosistem start-up ‘Silicon Savannah” menjadi pusat inovasi digitial di Afrika Timur. Indonesia bisa ikut menjadi mitra strategis dalam sektor ini dengan membangun hubungan kerja sama di bidang teknologi informasi, pendidikan digital dan fintech. Dengan adanya diplomasi ekonomi yang lebih inovatif seperti program pertukaran teknologi akan memperkuat posisi Indonesia di pasar yang sedang berkembang.

Di sektor energi hijau, Indonesia juga bisa memanfaatkan potensi energi terbarukan yang saat ini sedang berkembang di Ehtopia dan Kenya. Potensi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin di Indonesia bisa dikembangkan di Afrika dengan transfer teknologi dan juga pengalaman dalam mengembangkan kapasitas energi terbarukan.

Tantangan  dan harapan diplomasi ekonomi Pemerintaha Prabowo-Gibran

Kebijakan dan strategi apapun yang dilakukan jika masalah infrastuktur diplomatik tidak diperhatikan akan menghambat tujuan yang sudah ditetapkan. Indonesia hanya memiliki kantor perwakilan di 16 negara Afrika dan satu Konsulat jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Cape Town, Afrika Selatan. Hal ini tentu membuat jangkauan diplomasi Indonesia terbatas. Dengan tidak adanya perwakilan langsung di negara tersebut akan membuat ruang gerak untuk melakukan negosiasi ekonomi dan menjalin perdagangan terhambat apalagi ditambah dengan jarak dan infastuktur dan juga situasi politik di negara Afrika berbeda-beda tidak bisa disamakan satu sama lain. Jika dibandingkan dengan Tiongkok memiliki lebih dari 50 kantor perwakilan yang memungkinkan negara tersebut bisa membangun hubungan yang lebih kuat dan menjalin kerjasama dengan mudah di berbagai sektor yang ada.

Tantangan lainnya yang harus diperhatikan adalah kebijakan perdagangan dan investasi di Afrika memiliki iklim investasi yang unik. Negara-negara di Afrika memiliki sistem hukum yang kompleks dan berbeda-beda. Sehingga, membutuhkan pendekatan diplomasi yang benar-benar sesuai dengan negara masing-masing untuk memahami dan menavigasi kebijakan tersebut. Pemerintah saja tidak cukup dalam pengembangan diplomatik ekonomi di Afrika. Namun, perlu didukung dari perusahaan swasta Indonesia dalam menavigasikan pasar Afrika. Peran kamar dagang dan  industri di negara-negara Afrika juga bisa dilakukan dengan dilakukan penguatan hubungan kerja yang baik saling menguntungkan sehingga terjadi kesepakatan dalam melakukan aktifitas bisnis antara Indonesia dan Afrika.

Maka dari itu, harapan terlaksananya diplomasi ekonomi Indonesia yang lebih inovatif di Afrika tergantung dari kepemimpinan pemerintah yang baru yakni Prabowo Gibran. Afrika seperti rumah kita, 330 tahun melalui Syech Yusuf Al-Makassari Indonesia sudah membangun hubungan baik dengan negara-negara di Afrika, 1,2 juta warga Cape Malay yang merupakan keturunan Indonesia yang menjadi diaspora perekat hubungan erat di negara Afrika. Benua hitam bukanlah kawasan tertinggal seperti stigma masyarakat selama ini, tetapi Afrika adalah benua masa depan dengan kekayaan alamnnya.

0 Komentar

Brand creation, trend analysis & style consulting

Memiliki ketertarikan penelitian pada Operations Management, Integrated Marketing Communications, Strategic Management, Philanthropy, Social Entrepreneurship and Neuromarketing