Dr. Emaridial Ulza, MA
Francis Bacon salah seorang filsuf dan ilmuan yang
hidup di abad ke 16 dalam bukunya yang berjudul Meditationes Sacrae terdapat
sebuah frasa yang menjadi semangat dalam dunia pendidikan sampai saat ini
yakni; Knowledge is Power. Bagaimana ilmu pengetahuan menjadi hal yang
sangat penting mengubah dunia. Lebih lanjut ia percaya bahwa observasi,
eksperimen dan pengalaman adalah bagian dari pengetahuan untuk memahami dunia.
Pengetahuan yang memiliki kekuatan salah satu bentuk
wujudnya adalah sistem pendidikan yang baik. Ki Hajar Dewantara sebenarnya
sudah menanamkan nilai dasar atau filosofi pendidikan “Tut Wuri Handayani” guru
memberi teladan, teladan untuk berbagi pengalaman dan berekspresi, pemimpin
memberikan semangat dengan observasi dan gagasannya, serta pemimpin memberikan
dorongan dan dukungan.
Sepanjang Indonesia merdeka pendidikan masih memiliki
pekerjaan rumah yang banyak. Misalnya skor PISA (Programme for International
Student Assessment) menempati peringkat 74 dari 79 negara yang ikut serta dalam
evaluasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 juga terlihat masih ada
ketimpangan pendidikan antara perkotaan dan juga pedesaan yang sangat tinggi.
Di desa sekitar 5,11% penduduk belum mengeyam pendidikan sedangkan di perkotaan
hanya 1,93% penduduk yang belum pernah sekolah. Hal ini baru dalam tingkat
partispasi pendidikan belum kepada ketimpangan akses pendidikan, kualitas
pengajaran yang belum merata, hingga tata kelola pendidikan tinggi yang masih
jauh dari harapan.
Belum lagi masalah di pendidikan tinggi yang semakin
carut marut. Misalnya keberadaan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH)
dan ketidakadilan yang dirasakan oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Harapan
besar memperbaiki pendidikan Indonesia ada ditangan presiden dan wakil presiden
yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024. Euforia perubahan dan harapan besar
kepada pemerintahan baru, muncul pertanyaan tentang bagaimana Presiden Prabowo
dan Wakil Presiden Gibran akan membawa gebrakan di dunia pendidikan tinggi.
Bagaimana mereka dapat mengatasi masalah yang sudah mengakar dalam sistem
pendidikan, mulai dari masalah PTNBH yang semakin komersial hingga
terpinggirkannya PTS, serta bagaimana mereka dapat memulihkan keseimbangan
antara PTN dan PTS. Pertanyaan ini menjadi semakin relevan di tengah evaluasi
terhadap kebijakan pendidikan di era Nadiem Makarim yang, meskipun inovatif,
masih menyisakan banyak tantangan besar.
Pendidikan di Era Nadiem Makarim: Gebrakan Inovatif
yang Belum Sempurna
Ketika Nadiem Makarim dilantik menjadi Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun 2021 ia mulai melakukan
gebrakan yang ditujukan untuk merombak sistem pendidikan yang sudah lama
stagnan. Salah satu kebijakan yang paling populer adalah Merdeka belajar,
sebagai bentuk memberikan fleksibilitas lebih dalam proses belajar-mengajar,
baik bagi guru maupun siswa. Kebijakan tersebut memberikan keleluasaan bagi
guru untuk melakukan inovasi dalam metode pengajaran dan bagi siswa bisa
mengeksplorasi minat mereka tanpa dibebani oleh standar ujian yang kaku.
Langkah seperti penghapusan Ujian Nasional (UN) disambut baik oleh banyak
pihak, karena UN selama ini dinilai lebih mengedepankan kemampuan hafalan
dibandingkan pengembangan keterampilan berpikir kritis.
Ditengah kebijakan atau gebrakan yang dilakukan masih
ada banyak masalah mendasar pendidikan yang belum terselesaikan. Salah satu
kebijakan Nadiem yang menjadi kritik utama adalah ketimpangan infrastruktur
pendidikan yang semakin tinggi ketika kebijakan digitalisasi pendidikan diterapkan
selama pandemi COVID-19. Dampak ini dirasakan bagi sekolah yang berada didaerah
terpencil yang tidak bisa mengakses teknologi, mulai dari masalah internet
sampai kepada fasilitas yang mendukung yang memperparah kesenjangan pendidikan
antara perkotaan dan pedesaan.
Masalah lainnya juga muncul seperti kesejahteraan guru
yang belum terselesaikan. Walaupun segala upaya untuk meringankan beban
administratif guru sudah dilakukan dengan kebijakan yang ada, belum bisa
menyelesaikan masalah, malahan guru merasa tertekan oleh tuntutan digitalisasi
pendidikan. Guru-guru di daerah terpencil yang tidak memiliki akses ke
infrastruktur teknologi yang memadai, Masalah kesejahteraan yang tidak merata,
terutama di daerah pedesaan, menjadi salah satu penyebab rendahnya motivasi dan
kualitas pengajaran yang diterima oleh siswa.
Begitu juga masalah dalam pendidikan tinggi, pada era
Nadiem kritikan yang paling besar adalah dalam hal pengelolaan PTNBH dan peran
dari perguruan tinggi swasta. Kebijakan ini lebih memprioritaskan pengelolaan
mandiri universitas atau otonomi PTNBH. Walaupun dalam aturannya bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi, justru memberikan dampak kenaikan biaya kuliah
yang membebani mahasiswa. Sementara itu, perguruan tinggi swasta yang memiliki
peran besar dalam menyediakan akses pendidikan bagi jutaan mahasiswa sering
kali merasa terpinggirkan dan kesulitan untuk bersaing dengan PTN baik itu
dalam hal pendanaan maupun kualitas pengembangan riset.
PTNBH: Otonomi atau Komersialisasi Pendidikan Tinggi?
PTNBH menjadi momok dalam tata kelola pendidikan
tinggi era Nadiem Makarim. Perguruan tinggi yang berstatus PTNBH diberikan
kewenangan mengelola secara mandiri terkait anggaran, sumber daya dan juga
kerjasama internasional. Kewenangan ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dan menjadikan universitas tersebut lebih kompetitif di tingkat
global.
Faktanya dilapangan kebijakan tentang PNTBH menimbulkan masalah yang sangat serius. Misalnya adanya kecenderungan PTNBH untuk menaikan biaya kuliah sebagai cara untuk menopang anggaran operasional. Biaya kuliah di PTNBH dalam beberapa tahun terakhir naik secara signifikan dan membuat riuh mahasiswa melakukan protes besar-besaran. Protes tersebut tentu merupakan bagian ungkapan beban yang semakin berat bagi kalangan menengah ke bawah. Bagi PTNBH kenaikan biaya kuliah adalah keharusan. Walaupun di Permendikbud No 4 Tahun 2020 pasal 2 dan 4 menyatakan syarat menjadi PTNBH harus memiliki syarat kelayakan finansial dan mampu mengelola aset dengan baik serta mampu menggalang dana selain biaya pendidikan dari mahasiswa yang diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2015 tentang Bentuk Mekanisme Pendanaan PTNBH. Saya sependapat apa yang disampaikan Edi Subkhan yang menyatakan bahwa walaupun pemerintah tetap memberikan subsidi kepada PTNBH namun pada faktanya ada tendensi pemerintah melepas pembiayaan kepada universitas yang sudah menyandang PTNBH. adanya hak dan kewajiban yang semulanya ditanggung oleh pemerintah dibebankan kepada PTNBH. dari sini muncul lah kenaikan biaya kuliah ditambah lagi pengaruh ekonomi yang tidak menentu untuk memastikan biaya operasional PTNBH tersedia dengan baik. Dari sini salah satu caranya untuk memastikan operasional itu adalah penerimaan mahasiswa baru yang ugal-ugalan. Jalur seleksi dibuka sedemikian rupa sehingga Perguruan Tinggi Swasta (PTS) tidak bisa lagi mendapatkan mahasiswa yang maksimal dan menganggu kestabilan dari PTS tersebut. Jika berbicara persaingan antara PTS dan PTNBH tentulah tidak akan bisa dibandingkan karena PTS kalah dari segi fasilitas, pembiayaan dan juga kualitas dari dosen itu sendiri.
Terpinggirnya Perguruan Tinggi Swasta: Sebuah
Ketidakadilan Sistemik
Tidak bisa dipungkiri peranan Perguruan Tinggi Swasta
(PTS) sangat penting dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Bahkan sebagian
besar mahasiswa di Indonesia justru menempuh pendidikan di PTS dikarenakan
kapasitas PTN yang terbatas. Walaupun peran dari PTS begitu penting, kadang
sering kali terlupakan dalam kebijakan pendidikan tinggi. Banyak PTS, terutama
yang berada di luar Jawa atau yang tidak memiliki sumber daya besar, kesulitan
bersaing dengan PTN, baik dalam hal pendanaan, infrastruktur, maupun kualitas
dosen.
Yang lebih menarik lagi PTNBH salah satu
keistimewaannya adalah kebebasan dalam menentukan kuota dan kriteria penerimaan
mahasiswa baru. PTNBH memiliki kewenangan untuk mengatur jalur penerimaan
mandiri, di mana bisa menetapkan standar seleksi yang berbeda dan menerima
mahasiswa berdasarkan berbagai faktor. Di lain hal, PTNBH juga bisa menetapkan
biaya kuliah pendidikan sesuai dengan latar belakang dari calon mahasiswa, yang
dalam banyak kasus memberikan keuntungan bagi PTNBH yang lebih mampu secara
finansial. Hal ini menciptakan ketimpangan di mana PTNBH dapat menerima sumber
daya manusia terbaik sekaligus mendapatkan pemasukan lebih besar, sementara PTS
sering kali harus bergantung pada mahasiswa yang tidak diterima di PTN atau
PTNBH.
Dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, kebijakan-kebijakan tersebut harus lebih adil dan berimbang terutama dalam memperhatikan PTS. Pemerintah harus menjadikan PTS sebagai mitra strategis dalam menyiapkan Sumber daya manusia yang berkualitas bukan sebagai institusi sekunder. Walaupun memang kedepan PTNBH dan PTS diminta untuk bersaing, maka pemerintah harus memfasilitasi dan memberikan kesempatan yang sama dalam bantuan ataupun subisidi yang sama. Sehingga kedepan akan terlihat mana universitas yang benar-benar mampu memberikan kualitas dalam mencetak Sumber Daya manusia yang unggul sesuai dengan harapan dari UUD 1945.
Gebrakan yang Dinanti dari Menteri Pendidikan yang
Baru: Solusi untuk Tantangan Pendidikan Indonesia
Dengan akan adanya momen Presiden baru Indonesia
Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran, perlu kita tunggu gebrakan apa yang
akan dilakukan mulai dari penunjukan Menteri Pendidikan yang baru yang nantinya
diharapkan mampu membawa solusi konkret untuk tantangan-tantangan yang dihadapi
dalam dunia pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Tentunya, yang menjadi pekerjaan utama adalah bagaimana memastikan pemerataan
akses pendidikan sesuai dengan rumusan kebijakan awal pendidikan oleh oleh Ki
Hajar Dewantara tentang pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada kemajuan
bangsa, meneruskan cita-citanya adalah dengan pendidikan dapat diakses oleh
semua lapisan masyarakat.
Lebih dari itu, Menteri Pendidikan juga harus berani
melakukan reformasi pendidikan, terutama dalam hal tata kelola PTNBH dan
dukungan terhadap PTS. PTNBH perlu diawasi dengan lebih ketat agar otonomi yang
dimiliki tidak merugikan mahasiswa dengan kenaikan biaya kuliah yang terlalu
tinggi. Di sisi lain, PTS harus mendapatkan dukungan yang lebih besar agar
mereka dapat bersaing secara adil dengan PTN, baik dalam hal pendanaan,
pengembangan riset, maupun perekrutan dosen.
Gebrakan-gebrakan ini sangat layak kita tunggu
sehingga nantinya menjadi kenangan seperti Presiden Soeharto membangun SD
Inpres sebagai bentuk wujudnya pemerataan pendidikan yang berhasil membangun
150 ribu sekolah tersebar di Indonesia dan berhasil mencatat Angka Partisipasi
Murni (APM) SD mencapai 99,6 persen. Lalu, menurunnya buta aksara turun hingga
15,8 persen serta berdampak pada lama masa pendidikan yang akhirnya
meningkatnya upah sebesar 3-5,4 persen. Gebrakan ini yang membawa Esther Duflo
meraih nobel dan juga Presiden Soeharto mendapatkan piagam the Avicenna dari
UNESCO.
Terakhir, Do’a kami menyertai langkah perjuangan
Prabowo-Gibran untuk pendidikan sesuai dengan amanat pendidikan “bahwa setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. sehingga mimpi bersama
mencerdaskan kehidupan bangsa bisa terwujud.
0 Komentar